Over-Stimulation dari Media Sosial

Restu Arif Priyono
suarsocial
Published in
4 min readJan 6, 2021

--

Sulit untuk fokus dalam waktu yang lama bisa jadi disebabkan stimulasi yang berlebihan. Stimulasi yang dimaksud adalah sebuah ajakan, panggilan, atau hal-hal lainnya yang menarik perhatian kita untuk melakukan suatu aksi. Misalnya seperti notifikasi yang berasal dari media sosial. Notifikasi media sosial merupakan stimulasi yang sengaja dibuat untuk menarik perhatian dan kita melakukan aksi terhadap stimulasi tersebut.

Menarik Perhatian Agar Penasaran

Kenapa kita tertarik dengan notifikasi media sosial atau notifikasi lainnya? Hal itu karena kita berharap di balik notifikasi tersebut terdapat sebuah informasi menarik yang membuat kita bahagia, sama seperti ketika kita diberikan sebuah kado yang dibungkus dengan bungkus yang cantik oleh teman kita. Bukanlah kadonya yang membuat kita bahagia, namun kita berharap ada sesuatu yang menarik di dalam kado tersebut yang membuat kita bahagia.

Harapan untuk mendapatkan kebahagiaan ini merupakan salah satu mekanisme dari tubuh kita, yang diatur oleh dopamin. Sebuah hormon yang mempengaruhi emosi, keingintahuan, dan motivasi kita. Maka, ketika hormon dopamin ini dilepaskan oleh sistem tubuh, kita merasa lebih bersemangat dan termotivasi.

Hormon dopamin ini sangat berguna bagi kehidupan kita, yaitu ketika kita membutuhkan energi untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan. Contohnya, orang zaman dahulu ketika berburu dan akhirnya melihat buruannya, maka sistem tubuh orang tersebut akan melepaskan hormon dopamin untuk memberinya semangat memburu hewan buruannya. Hal ini terjadi karena dia berharap, ketika hewan tersebut berhasil ditangkap, dia akan mendapatkan makanan untuk hari itu yang membuatnya bahagia.

Namun mekanisme tubuh ini seringkali dimanfaatkan secara tidak bijak oleh beberapa pihak untuk memberikan kita stimulasi-stimulasi yang menimbulkan harapan, yang tujuannya adalah untuk kepentingan pemberi stimulasi. Contohnya adalah media sosial yang dibahas sebelumnya. Semakin kita membuka notifikasi media sosial, semakin mudah pemilik media sosial menampilkan iklan kepada kita. Sekalinya kita membuka notifikasi tersebut, media sosial akan menawarkan kita stimulasi-stimulasi lainnya untuk tetap berada di dalam sistem media sosial dengan menampilkan posting-posting yang menarik bagi kita, ditambah dengan iklan yang menguntungkan pihak media sosial.

Photo by Jorge Franganillo on Unsplash

Apakah hanya media sosial saja yang memberikan kita stimulasi berlebihan? Sebenarnya tidak. Hal ini juga terjadi saat kita membeli makanan ringan seperti chiki atau mie instan yang memiliki rasa kuat dan sangat gurih namun tidak sehat bagi tubuh kita apabila terlalu sering dikonsumsi. Ketika kita melihat bungkus makanan-makanan tersebut, otak kita terlatih untuk segera mengonsumsi rasa gurih yang ada di dalamnya, sehingga otak kita melepaskan hormon dopamin. Meskipun stimulasi di dunia nyata ini banyak di sekitar kita, namun adanya internet (terutama saat pandemi), mendorong stimulasi-stimulasi ini ke tahapan yang ekstrem bahkan hingga mengurangi produktivitas.

Bagaimana Caranya untuk Mengatasi Stimulasi Berlebihan Ini?

Hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan menyadari banyaknya stimulasi yang ada di lingkungan kita saat ini, terutama dengan keterhubungan kita dengan internet, sehingga banyak pihak dapat menghubungi kita setiap saat. Setelah kita menyadari hal tersebut, kita perlu secara sadar membatasi stimulasi mana yang boleh masuk ke dalam hidup kita. Batasi notifikasi dan akses media sosial, tentukan waktu-waktu kita bisa dihubungi oleh orang lain melalui chat atau telepon (kabari orang-orang di sekitar kita tentang waktu ini, agar tidak terjadi salah paham). Dengan menyadari stimulasi berlebihan ini, kita bisa memprogram ulang dan mengerem kebiasaan kita mengonsumsi konten-konten di internet.

Hal yang bisa jadi solusi lainnya adalah dengan puasa media sosial. Puasa bukan hanya terkait dengan hal biologis (tidak makan), namun puasa yang diajarkan di dalam Islam juga mengenai meninggalkan konten-konten yang tidak bermanfaat. Sekalinya mengonsumsi konten, haruslah halal dan thayyib (halal dan baik). Sesuatu yang halal belum tentu baik, begitu pula sebaliknya. Konten yang halal seperti video motivasi di YouTube bisa jadi tidak baik apabila kita mengonsumsinya seharian dan tidak mengerjakan hal lainnya selain nonton YouTube.

Puasa bukan hanya terkait dengan hal biologis (tidak makan), namun puasa yang diajarkan di dalam Islam juga mengenai meninggalkan konten-konten yang tidak bermanfaat.

Biasakanlah terhadap stimulasi-stimulasi yang sifatnya tidak instan. Misalnya, berjalan kaki keliling komplek bersama orang-orang yang disayangi. Berjalan kaki sering menjadi hal yang dirasa tidak penting dan buang-buang waktu di zaman yang serba instan (ojek online di mana-mana). Banyak hal lain yang sering dijadikan instan, seperti olahraga instan, makanan instan, komunikasi instan, dan sebagainya. Padahal, seringkali kita dapati sesuatu yang instan lebih banyak kerugiannya dibandingkan dengan sesuatu yang natural atau alami.

Kita sering merasa tanpa adanya stimulasi, interaksi, dan konten digital, ada yang hilang dari diri kita, sehingga kita berusaha untuk selalu update dengan berita atau informasi viral yang sering kali tidak begitu banyak manfaatnya bagi kehidupan kita. Fenomena ini disebut dengan FOMO (fear of missing out), di mana kita merasa tidak mengikuti tren ketika berbincang dengan orang lain mengenai informasi yang sedang viral. Untuk mendapatkan satu obrolan viral dengan orang lain, bisa jadi kita harus mengonsumsi ratusan konten dalam waktu yang tidak sedikit, hanya untuk bisa ngobrol hal yang sama dengan orang lain! Memang tidak enak rasanya ketika kita ngobrol dengan orang lain, tapi kita tidak tahu apa yang dibicarakan. Secara jangka pendek, mungkin ini membuat kita minder. Tapi, dalam jangka panjang, dengan kita mengorbankan waktu menggali informasi viral di timeline media sosial dengan olahraga atau berkarya secara produktif, tentunya akan memberikan dampak yang lebih besar. Tentu saja, hal ini membutuhkan pengorbanan dan proses yang tidak sebentar. Jadi, lebih baik perbanyak berbagi atau buat kontennya dibandingkan konsumsi kontennya.

--

--

Restu Arif Priyono
suarsocial

A tech enthusiast with background in Software Engineering and Business. Currently as a CEO of Techlab.