Introvert yang Lebih Terbuka

Saya seorang INFP, dan bagi seorang introvert menjelaskan suatu gagasan atau pendapat sangat sulit dilakukan. Bukan karena saya tidak kompeten atau gagasannya buruk, namun karena saya merasa tidak ada kata-kata yang bisa mewakili perasaan atau ide tersebut.

Restu Arif Priyono
2 min readApr 1, 2021

Ketika mencoba mengutarakan maksud gagasan, tidak jarang saya malah bicara muter-muter atau bahkan berujung diam sambil keringetan. Ketika orang yang saya jelaskan manggut-manggut, saya malah khawatir apa yang dipahaminya berbeda dengan maksud saya. Karena kalau salah paham, saya takut dicap buruk sebagai orang yang tidak mengerti atau bodoh.

Oleh karena itu, tidak jarang saya menyerah sebelum mulai mencoba menjelaskan. Saya sering berpikir, “kayaknya percuma dijelasin juga, soalnya susah ngejelasinnya.” dan akhirnya saya memilih diam. Ternyata, seringkali diam justru mengundang lebih banyak masalah dibandingkan mengutarakan pendapat meskipun caranya tidak sesempurna yang saya bayangkan. Terutama, hal ini saya rasakan ketika sudah menikah. Banyak hal yang bisa diselesaikan dalam pernikahan dengan cara mengutarakan perasaan dan pikiran dengan cara yang baik.

Berusaha membuat orang paham dengan pemahaman persis yang kita miliki itu hampir mustahil. Karena pemahaman orang lain itu di luar kendali kita. Ketika kita mengucapkan satu kata, bayangan kita mengenai hal tersebut besar kemungkinan tidak sama dengan orang yang kita ajak bicara. Hal tersebut terjadi karena perbedaan pengalaman, latar belakang, dan kepribadian masing-masing. Jadi, hal yang bisa kita lakukan adalah menyampaikannya sebaik mungkin, dengan kata-kata yang mendekati apa yang kita rasakan dan pikirkan. Tidak apa-apa kalau dia tidak mengerti (sekarang).

Saya memang cenderung menahan-nahan gagasan agar tidak keluar, seperti menahan pintu dari sesuatu di dalam yang ingin merangsek ke luar. Saya sangat takut kalau respons lingkungan tidak mengenakkan atau tidak sesuai dengan yang saya harapkan. Sesederhana adanya salah ketik dalam tulisan yang saya publikasikan dapat membuat saya stress, saking takutnya dihakimi. Namun, menahan-nahan terus ternyata melelahkan. Tenaga dihabiskan untuk sesuatu yang tidak produktif. Ternyata, akan lebih sehat apabila gagasan, uneg-uneg, dan nilai itu diekspresikan, kemudian kita berkembang bersama dengan respons lingkungan (tidak ada respons dari lingkungan a.k.a. dicuekin pun merupakan sebuah respons lingkungan).

Setelah saya mengekspresikan perasaan dan pikiran, respons dari lingkungan berbeda-beda. Hal yang paling ditakutkan adalah respons yang buruk, seperti dihakimi dan direndahkan. Kadang itu terjadi, tapi seringkali tidak. Ternyata, respons inilah yang membuat saya lebih kuat dan lebih memahami mengenai siapa diri saya. Sangat tidak enak dan menyakitkan ketika dihakimi dan direndahkan. Namun, saya menjadi sadar bahwa saya manusia biasa dan tidak semua respons lingkungan itu adalah kebenaran.

Berpikir berlebihan (overthinking) dan kecemasan mengenai buruknya persepsi orang lain terhadap kita seringkali hanya ada di kepala kita. Kita yang lebih tahu bahwa diri kita berharga dan hebat dalam beberapa hal. Kita punya kekurangan, tapi kekurangan tersebut tidak membuat kita hina. Selama masih diberikan waktu, kekurangan itu adalah task yang masih perlu diperbaiki. Fokus pada kelebihan kita, perbaiki kekurangan kita sambil jalan.

--

--

Restu Arif Priyono

A tech enthusiast with background in Software Engineering and Business. Currently as a CEO of Techlab.