Tools dan Calling

Restu Arif Priyono
3 min readDec 26, 2018

Setiap kita dianugerahi dengan kemampuan khusus ketika lahir untuk menyukai dan tertarik sesuatu, dan hal itu merupakan modal untuk kita berkarya membuat sebuah solusi dari permasalahan yang ada pada diri kita maupun lingkungan sekitar kita. Dalam tulisan ini, saya ingin sharing apa tools saya dan bagaimana perjalanan saya secara singkat dalam bertemu dengan para tools ini.

Photo by Ian Schneider on Unsplash

Saya suka membuat produk. Beri saya sebuah tools, tools apapun, dan saya akan membuat sesuatu. Tools digital pertama yang saya pelajari adalah Adobe Photoshop 7.0 waktu saya SMP. Waktu itu, saya dan teman-teman SMP memang sering menyisihkan uang jajan untuk membeli CD bajakan di warnet dekat sekolah. Di saat teman-teman saya waktu itu membeli CD bajakan untuk game, saya yang tidak terlalu suka bermain game membeli CD bajakan Photoshop.

Saya senang mempelajari software Photoshop baru ini di komputer yang baru saya miliki, warisan dari kakak saya yang baru lulus kuliah. Keingintahuan berubah menjadi kegemaran, dan kegemaran berubah menjadi skill. Saya banyak membuat karya foto editan di usia SMP. Sampai-sampai, saya ingin sekali bekerja di Jonas Photo waktu itu, karena saya sempat melihat sekilas cara kerja editor fotonya yang ternyata tidak jauh berbeda dari cara saya melakukannya. Bahkan, saya berpikir saya bisa melakukannya dengan lebih baik!

Waktu di SMP ini sangat penting bagi saya, karena waktu itu adalah karakter diri kita sudah mulai terbentuk, dan kita masih jujur dengan pilihan-pilihan kita. Karena setelah Photoshop, saya membajak kembali Corel Draw, Macromedia Flash, dan sebagainya. Sayangnya, semakin dewasa, saya semakin takut dengan penilaian orang lain, dan mengambil pilihan yang “biasa”, seperti yang biasa diambil orang-orang. Pasalnya, di masa SMA, kita sudah mulai ditanya, mau kuliah di mana, kerja di mana, dan sebagainya.

Di keluarga saya, pilihan untuk menjadi orang yang berprofesi di bidang seni dianggap sebelah mata, karena dianggap kurang menguntungkan secara finansial. Mulailah saya mencari tools lain untuk digemari, dan memang ternyata saya mendapati bahwa tools apa saja yang diberikan pada saya, saya akan membuat sebuah produk dari sana. Walaupun tidak bagus-bagus amat, tapi saya tidak malu untuk menunjukannya kepada orang lain. Misalnya, saya sedang diberi gitar, saya rekam lagu buatan sendiri menggunakan gitar itu, dan diperdengarkan ke orang lain. Mereka yang mendengarnya sih tidak bisa menahan tawanya, mungkin karena tidak bagus juga. Tapi tidak apa-apa, karena saya suka melakukannya.

Atau ketika di SMA, kelas saya ada tugas membuat sebuah film, dan saya yang bagian editing dari awal sampai akhir (sebenarnya sih sebagai pemeran juga dan kameraman juga. Sebenarnya sih semuanya jadinya ya.) saya bergadang beberapa hari untuk eksplorasi software editor film dan akhirnya dipublish. Saya suka dengan publikasi karya itu, dan saya menikmati setiap prosesnya.

Sampai akhirnya saya kuliah di jurusan Teknik Infomatika, karena seperti saya bilang tadi, keluarga saya mendorong saya untuk kuliah di jurusan yang memiliki prospek “bagus” ke depannya. Saya pikir informatika cukup menjanjikan. Ternyata saya kewalahan kuliah di sini.

Awalnya, saya beranggapan pokoknya kasih saya tools, saya buat sesuatu dari sana. Ternyata, tools programming ini tidak sesederhana yang saya bayangkan. Banyak hal yang perlu saya kejar dengan susah payah untuk memahami konsep dan praktiknya. Namun, pada akhirnya saya lulus juga. Tidak cemerlang-cemerlang amat, tapi saya pikir saya banyak dapat ilmunya.

Benar saja, saya baru ngeh tentang yang diajarkan di perkuliahan setelah saya bekerja setahun menjadi seorang programmer di salah satu perusahaan konsultan IT di Bandung. Jadi, selama empat tahun kuliah, sebenarnya saya sama sekali tidak kebayang yang diajarkan itu apa sampai benar-benar terjun ke dunia pekerjaan nyata. Setelah merasa memahami tools saya ini, akhirnya saya percaya diri untuk menggunakannya di tempat lain dan memproduksi hal-hal lain sesuai dengan apa yang saya inginkan.

Kalau diibaratkan, tools ini adalah kotak berisi barang yang kita bawa kemana-mana yang suatu hari kita gunakan untuk menyelesaikan masalah tertentu dan memberikan solusi bagi diri kita dan lingkungan. Tentu saja tidka harus berupa barang, tapi bisa juga berupa hard skill atau soft skill.

--

--

Restu Arif Priyono

A tech enthusiast with background in Software Engineering and Business. Currently as a CEO of Techlab.